Pada Awalnya Sulawesi Utara memiliki empat suku besar yakni, Suku Minahasa yang bermukim di daerah Kota Manado dan sekitarnya, Suku Siau yang bermukim di Kepulauan Sangihe, Suku Mongondow yang mendiami sekitaran Kabupaten Bolaang Mongondow, dan Suku Hulondalo yang saat ini mendiami Provinsi Gorontalo. Adanya pernikahan diantara ke empat suku ini menyebabkan terjadinya percampuran budaya, yang dapat dilihat dari bentuk rumah adat yang mirip satu sama lain. Namun, masih ada beberapa tradisi dan budaya yang tetap di pertahankan hingga saat ini. Termasuk dalam bidang kesenian tari, salah satunya adalah tari Maengket.
Tari Maengket adalah tari tradisi yang berasal dari suku Minahasa. Menurut catatan sejarah, Tari Maengket sudah ada sejak Suku Minahasa mengenal pertanian, yakni sekitar abad ke-7. Maengket merupakan perpaduan dari beberapa jenis kesenian, yaitu seni tari, musik dan nyanyian serta seni sastra yang terukir dalam lirik lagu yang yang dilantunkan.
Pada awalnya, tarian ini hanya disebut sebagai Maengket saja, baru pada awal abad ke-20 di kenal dengan Tari Maengket. Maengket berasal dari kata Engket atau mengangkat tumit dan kata Ma yang merupakan kata kerja. Jadi Maengket dapat di artikan sebagai tarian yang dapat dilakukan dengan mengangkat tumit.
Dahulu kala, tarian ini menggunakan properti berupa daun Woka, tapi saat ini diganti dengan menggunakan sapu tangan atau Lenso yang dikaitkan di jari kelingking kiri maupun kanan. Tari Maengket termasuk kedalam seni tari yang sakral dan memiliki nilai-nilai religi yang tinggi. Tarian ini merupakan ungkapan rasa syukur kepada Empung Walian Wangko (Tuhan Yang Maha Esa) yang berwujud nyanyian, saat panen tiba. Tarian ini menggambarkan aktivitas orang Minahasa dalam menuai padi / panen, gotong royong dalam pembuatan rumah dan ucapan rasa syukur.
Tari Maengket sendiri terdiri dari tiga babak, yakni:
Maowey Kamberu atau Maengket Owey Kamberu adalah babak pertama dimana kapel atau pemimpin tari menjentikkan jari dengan tujuan mengundang dewi bumi atau dewi pertanian “Lingkan Wene” untuk turun kebumi. Jentikkan jari ini juga menjadi pertanda dimulainya tarian. Owey Kamberu merupakan gambaran dari keluhan akan rasa lelah menanam padi yang kemudian menghasilkan kesenangan saat menuai padi, juga merupakan penggambaran rasa syukur atas hasil panen yang berlimpah.
Rumambak atau Marambak berasal dari kata Rambak artinya membanting kaki. Babak ini menceritakan bagaimana masyarakat Minahasa bergotong-royong dalam pembangunan rumah baru. Dimulai dari pemilihan kayu yang berkualitas untuk pembangunan rumah baru, agar dapat menampung beban yang berat, tahan terhadap serangan angin dan juga tahan akan pengaruh iklim. Pada masanya, rumah yang dibangun saat itu, masih terbuat dari kayu seluruhnya. Rumah ini disebut dengan Walewangko yang saat ini dikenal sebagai rumah adat.
Setelah rumah selesai dibangun, mereka akan membuat suatu pesta yang disebut Maramba. Dalam proses Maramba para tamu akan membanting kaki atau menghentakkan kaki ke lantai dengan tujuan untuk menguji kekuatan lantai rumah yang terbuat dari papan kayu. Maengket Maramba mempunyai suatu formasi yang menjadi ciri khas, yaitu formasi lingkaran. Dimana para penari laki-laki dan perempuan berpegangan pundak dengan penari yang ada di depannya.
Lalaya’an adalah tari yang melambangkan bagaimana pemuda-pemudi Minahasa pada zaman dahulu akan mencari jodoh mereka. Tari ini juga disebut tari pergaulan muda-mudi zaman dahulu kala di Minahasa. Formasi tarian maengket Lalayaan tarian terbagi 2 kelompok barisan,berpegangan tangan dan menari dalam bentuk lingkaran,ada juga yang saling berhadapan antara laki-laki dan perempuan.
Tarian ini ditarikan secara berpasangan, pling sedikit 8 pasang penari, dan ada pemimpin tarian yang disebut Kapel. Sebelum tahun 1900-an, pemimpin tari Maengket disebut dengan Walian In Uma, namun saat ini disebut dengan Kapel. Tugas Kapel bukan hanya memimpin jalannya tarian, Kapel juga bertugas untuk memimpin syair.
Gerakan tari Maengket cenderung gemulai dengan kaki yang berjinjit-jinjit. Gerakan tarian ini sederhana dan dilakukan berpasang-pasangan namun tetap serentak. Satu-satunya gerakan yang berbeda hanyalah Kapel yang lebih mencolok dengan busana yang berbeda pula.
Selain syair dalam bahasa daerah yang dibawakan oleh Kapel dan para penari, Tari Maengket juga memiliki musik pengiring, yaitu Gendang (Tambor) yang berukuran besar dan sedang, Tetengkoren (alat musik yang terbuat dari bambu), Kolintang besi dan Gong.