Tari Giring-Giring berasal dari tari Ganggareng yang bertemakan perjuangan. Tarian ini menggambarkan masyarakat desa yang bersuka cita menyambut kehadiran para pejuang suku Dayak yang baru datang kembali dari medan peperangan.
DateSeptember 4, 2021
Tari Giring-Giring berasal dari suku Dayak Ma’anyan dari Provinsi Kalimantan Tengah. Suku ini bermukim di Kabupaten Barito Timur dan Kabupaten Barito Selatan. Tari Giring-Giring biasanya ditarikan untuk menyambut tamu-tamu istimewa, dan terkadang digunakan untuk tari pergaulan oleh para muda-mudi di Kalimantan. Di daerah Kalimantan Selatan, tari ini dikenal dengan nama Tari Gintur.
Asal Usul Tari Giring-Giring
Menurut Suku Dayak Ma’anyan dan suku Dayak Lawangan, Tari Giring-Giring berasal dari tari Ganggareng, yang awalnya disebut Nampak. Yang bermakna suatu tarian yang bertemakan perjuangan. Tarian ini menggambarkan masyarakat desa yang bersuka cita bersama-sama untuk menyambut kehadiran para pejuang suku Dayak yang baru datang kembali dari medan peperangan.
Ada juga cerita lain yang berasal dari suku Taboyan Bawo. Menurut legenda, ada seorang pemuda desa yang tersesat di goa selama 2 hari 2 malam. Selama itu, ia mendengar suara air yang jatuh seperti bunyi musik. Ketika ia berhasil keluar dari goa, ia menyaksikan orang-orang di desanya, ramai menari sambil menanam padi. Seketika, pemuda tersebut teringat dengan bunyi-bunyi saat ia terjebak di dalam goa. Dari situlah , ia kemudian membuat alat musik bambu yang di kenal dengan salung. Di Suku Taboyan Bawo, tari ini juga pernah disebut dengan tari Tolang Totai. “Tolang” berarti ruas bambu, sedangkan “Totai” berarti tongkat kayu.
Gerakan dan Alat Musik Tari Giring-Giring
Tarian ini meski memiliki banyak variasi tetapi gerakan dasarnya tetap sama, yaitu gerak dasar “Manasai”, tari pergaulan suku Dayak di Kalimantan Tengah, serta ragam gerak “tandrik”, “menjinggit-jinggit”, gerak dua kali melangkah ke kanan dan ke kiri yang merupakan pakem gerak tari Giring-Giring. Para penari sambil berdiri menggerak-gerakan badannya mengikuti irama musik bersamaan dengan menghentak-hentakkan stik (gantar) dan gangereng di kedua tangannya hingga menimbulkan bunyi. Kaki-kaki para penari mengikuti irama musik dengan gerakan melangkah maju mundur serta ke kiri dan kanan. Perpaduan ketepatan gerak kedua tangan yang memegang bambu dan kaki secara bersamaan menjadi “ruh” dalam tarian ini.
“Gangereng” yang dipegang di tangan kanan adalah seruas bambu humbang berukuran panjang 120 cm yang kedua ujungnya ditutup dengan kayu ringan dan diberi hiasan rumbai. Bagian tengah bambu dilubangi untuk memasukkan biji buah merah yang sudah tua secukupnya. Bambu ini saat dihentak-hentakan atau digoyang beraturan mengikuti tempo atau ketukan musik pengiring akan menghasilkan harmonisasi bunyi yang indah. Gangereng ini adalah replika senjata tradisional “lunju” atau tombak (bambu runcing) yang dahulu digunakan suku Dayak di Kalimantan Tengah dalam perang melawan penjajah. Sedangkan gantar atau stik yang dipegang dengan tangan kiri merupakan replika “talawang” atau perisai. Di bagian belakang gantar terdapat gagang atau pegangan di tengahnya untuk memegang gantar.
Untuk alat musik yang digunakan yaitu saron, gendang, dan gong. Saron merupakan kenong yang terbuat dari lempengan berdiri dan terdiri dari lima atau lebih nada, do, re, mi, fa, so, la. Keserasian antara ritme musik dari tongkat giring, musik dari alat musik yang mengiringi dan gerakan penari merupakan daya tarik tersendiri bagi penonton. Sementara gendang merupakan alat tabuh terbuat dari kayu bulat yang telah mati, dibersihkan kulitnya lalu dilubangi tengahnya. Sehingga berbentuk tabung dan salah satu ujung rongganya ditutup menggunakan kulit hewan (kambing atau luar) dan diikat atau dirajut menggunakan rotan yang sudah tua. Sedangkan gong adalah alat musik yang terbuat dari bahan perunggu. Dapat juga terbuat dari bahan lempengan besi tipis.
Kostum Tari Giring-Giring
Busana penari perempuan terdiri baju adat suku Dayak berupa atasan lengan pendek yang bentuknya seperti rompi dengan kancing di bagian tengah, dan bawahan semacam rok sebatas lutut. Warna busana didominasi hitam dipadu dengan merah di bagian-bagian tertentu. Hiasan kepala berupa “lawung” atau ikat kepala yang diberi bulu burung Tingang atau Rangkong, dan sepasang tongkat bambu untuk properti tari.
Penari laki-laki mengenakan baju atasan semacam rompi dari bahan kulit kayu nyamu/upak nyamu, dan bawahan berbentuk celana dengan ukuran panjang ¾ terbuat dari bahan biasa. Warna busana didominasi hitam. Asesoris berupa ikat kepala dari kain berwarna merah (maroon, merah tua, merah bata) yang bagian belakangnya disematkan daun “rinjuang”, dan “garanuhing pai” atau gelang kaki. Untuk properti tari, sama seperti halnya fungsi tari Giring-Giring dahulu dan sekarang yang mengalami pergeseran, properti tarian pun turut menyesuaikan dengan keadaan, yang terpenting adalah tidak mengurangi esensi dan makna tariannya itu sendiri.
Referensi
Sriyana, S.Sos, M.Si. 2020. Antropologi Sosial Budaya. Jawa Tengah. Lakeisha Publisher.
Ensiklopedia Tari Indonesia Seri F-J, Vol. 2. 1984. Departemen Pendididkan dan Kebudayaan, Projek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
TRIBUNJOGJA.COM – Mila Rosinta yang bekerjasama dengan puluhan seniman dari 3 seni yakni Tari, Musik dan Visual sukses memukau penonton yang hadir memadati gedung PKKH Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Selasa (13/3/2018) malam. Di hadapan ratusan penonton Mila dkk sukses membuat penonton terdiam menikmati dan menghayati alunan musik serta gerakan tari kontemporer yang dibawakan Mila dan tim.
Tarian kontemporer yang disajikan dalam pentas malam itu menyajikan sajian yang unik Mila menggabungkan tarian kontemporer dengan musik dan visual art berupa video mapping menggunakan alat bernama Kinect. Tentu tarian ini menjadi sajian berbeda dalam pentas seni pada umumnya.
Mengangkat tema Mother Earth, pertunjukkan ini sebagai representasi dari perjalanan seorang ibu dan anak. Keduanya tak bisa terpisahkan. Perjuangan seorang ibu, mulai dari mengandung hingga melahirkan dan mendidik anak menjadi sajian yang direpresentasikan dalam sebuah kendhi.
Kendhi menjadi personifikasi sebuah kehidupan di dalam rahim ibu yang melindungi kehidupan di dalamnya yakni proses seorang anak dari perut hingga lahir di dunia. “Melalui karya ini kami ingin mengajak berkolaborasi bersama penonton dan mengajak masyarakat luas bahwa memiliki anak bukanlah sebuah hambatan namun menjadi sebuah pelecut semangat dalam berkarya,” ucap Mila Rosinta, penggagas pentas Mother Earth serta penari dan koreografer selepas pentas kepada Tribunjogja.com.
Selain itu, Mother Earth juga mengandung makna bahwa ibu semua umat manusia yaitu ialah bumi, Ibu adalah rumah bagi anak-anaknya begitu juga dengan bumi yang menjadi rumah bagi semua umat manusia. Pesan tersirat yang secara nyata digambarkan melalui tarian kontemporer malam itu.
Mila Rosinta sebagai penggagas pertunjukkan seni ini menggandeng puluhan seniman dari latar belakang berbeda. Dia dibantu rekan-rekan penari serta koreografer dari Mila Art Dance, dibantu oleh fotografer Rio Pharaoh, Make Up Lia Pharaoh, Video oleh Yugo Risfriawan, kostum Manda Baskoro, pianis Gardika Gigih, Composer Andre, singer Luis Najib serta Vosual Art Kokok Saja.
“Saya dan teman mengucapkan terimaksih atas apresiasinya, karya ini aku persembahkan untuk seluruh ibu di dunia dan aku berterimakasih kepada tuhan dan alam yang sudah memberikan kita kehidupan dan pelajaran hidup,” lanjut Mila. (tribunjogja)
Jakarta – Mila Art Dance menjadi salah satu kelompok tari yang terpilih dalam ‘Ruang Kreatif: Seni Pertunjukan Indonesia’. Akhir pekan lalu, komunitas tari yang didirikan oleh Mila Rosinta Totoatmojo pada 2012 itu mementaskan karya tari bertajuk Lukah Gilo di Auditorium Galeri Indonesia Kaya (GIK).
Lukah Gilo atau ‘Lukoh Gilo’ terinspirasi dari sebuah tradisi di Riau tentang permainan mistis dengan menggunakan lukah. ‘Lukah’ adalah keranjang penangkap ikan dan mantra pemanggil arwah.
Lukah Gilo terletak pada gerakan lukah sebagai akibat masuknya makluk gaib yang telah diberi mantra oleh dukun. Permainan magis kerap dipentaskan sebagai hiburan di acara-acara besar pemerintahan hingga pernikahan. Tradisi itulah yang menginspirasi koreografer Duwi Novrianti untuk menciptakan tarian.
“Budaya tradisi dengan nuansa magis terus dipertahankan sebagai hiburan oleh masyarakat di Kabupaten Siak, Riau,” kata Mila Rosinta, dalam keterangan yang diterima, Senin (13/3/2017).
Lewat pementasan Lukoh Gilo, lanjut dia, dapat melestarikan budaya tradisi yang dikemas menjadi sesuatu yang ebrbeda tanpa meninggalkan esensi. “Kita harus terus menghormati keberadaan semua makluk di sekitar kita,” tambah Mila.
Diaransemen oleh komposer Muhammad Adnan Irfianto, nuansa mistis dan permainan menghibur hadir di pementasan kali ini. Para penari yang berpartisipasi adalah rma Indriyani, Rines Onyxi Tampubolon, Dea Agustina, Ahmad Susantri, Elan Fitra Dianto, dan Wahyu Kurnia.
Setelah Mila Art Dance, masih ada penampil lainnya dalam Ruang Kreatif yakni Regeneration Theatre, Kawung Art.Culture.Wisdom, Gaya Gayo, Semarang Magic Community, Logika Rasa, KitaPoleng, dan Solo Dance Studio.
Teaser “Workshop Ketubuhan” bersama @pattohling dari Singapore.
.
Kali ini @milaartdanceschool bekerjasama dengan @paradancer untuk mengundang dan mengadakan workshop dari Pat Toh ( Singapore ). Pat Toh berfokus pada ketubuhan dengan konsentrasi Mapping and Measuring Body (Pemetaan dan Pengukuran Tubuh).
.
Terimakasih para peserta yg sudah ikut berpartisipasi, @paradancer @niaagustinaaa yg sll bekerjasama, dengan bertemu memiliki keluarga baru, ilmu baru dan pengalaman baru. Tunggu workshop kami selanjutnya di bulan depan yaaa 💃🏻
Lyrical Contemp adalah Pengembangan gerak tari yg mengtafsirkan gerak melalui musik , beat dan lirik yg diterjemahkan kedalam tubuh yg sudah disusun dalam bentuk koreografi. “Lyrical Contemporary” with Alisa Soelaeman @alisasoelaeman ( Choreographer & Dance Teacher )
.
Alisa Soelaeman, seniman tari independen yang berbasis di Jakarta. Lulus dari Institut Kesenian Jakarta pada tahun 2017. Alisa mendalami tari ballet klasik selama 15 tahun di Namarina Dance Academy dan mendapatkan gelarnya sebagai Advanced in Royal Academy of Dancing (ARAD). Pada tahun 2011, ia mempelajari seni tari secara mendalam di IKJ dan lulus pada 2017. Dia juga terlatih dalam tari tradisi, modern dance, hip hop dan menggarap style personalnya sendiri dalam karyanya. Sebagai Koreografer, Alisa telah menciptakan beberapa karya tari.
.
Terimakasih untuk seluruh peserta dan team yg turut berpartisipasi dalam acara ini, terus menari dan bertumbuh bersama ❤️
Acara workshop bulanan ini adalah program bulanan Mila Art Dance School yg memberikan ruang bagi siapapun yg ingin belajar menari langsung dengan senimannya, tidak hanya tehnik gerak, namun juga sharing tentang teori, pengalaman, perjalanan, dan seluruh hal2 yg mendukung dalam dunia tari.
.
Kali ini kami kedatangan salah satu seniman yg membawa Indonesia ke mata dunia yaitu mas @rianto.ddc . Salah satu seniman kebanggan indonesia ini aktif sekali dalam membuat karya2 yg mendalam tentang kehidupan. Berawal dari menari tradisi Banyumasan, mas rianto melakukan proses tubuh yg tidak instan, ia perlahan menemukan ketubuhannya dan mengekspresikannya dalam dunia tari kontemporer.
.
Menurut mas rianto tari kontemporer adalah membuat imaji dari realita yang sesungguhnya menjadi imaji baru ( memaknai sesuatu yg sudah ada menjadi pemaknaan yg baru melalui proses kreatif dan imajinasi seorang seniman ). Pada proses workshop ini mas rianto mengajak kembali setiap hari untuk sensitif terhadap sesuatu yg detail ( karena sesuatu yg besar muncul dari yg kecil ). Kemudian mas rianto juga menekankan tentang bergerak yg tidak hanya sebagai gerak estetik, namun dibalik sebuah gerakan ada pemaknaan yg ingin disampaikan (mas rianto selalu terinspirasi dari alam sekitar karena inspirasi bisa datang dari mana saja). Sesi yg lain juga kami diajarkan tentang Konektivitas antar manusia dengan cara bergerak natural menggunakan sebuah ranting, dengan bergerak bersama kami saling meredam ego, bekerjasama, saling menjaga, mengalir dll.
.
.
Terimakasi yg tidak terhingga kepada mas rianto yg telah tulus berbagi pengalaman dan ilmu bagi kami semua, terimakasih kepada seluruh peserta yg telah berbagi semangat untuk terus belajar hal2 baru, dan teman2 panitia yg sll ada dalam program kami 🙏🙏🙏Tinta Tari adalah sebuah wadah para kreator tari dan pecinta tari untuk saling bertemu dan berdiskusi dengan karya-karyanya. pertemuan ruang tari antara tradisi, kreasi, modern, popdance, hingga kontemporer terbuka luas untuk saling bertemu.
Acara ini diselenggarakan oleh Mila Art Dance sebagai kecintaan kami pada dunia tari, dimana kini saatnya yang muda juga dapat berekspresi dalam berkarya dan memiliki wadah untuk mengekspresikannya.Tinta Tari #1 bersamaan dengan opening Mila Art Dance School.Tinta Tari #1
“Tabungan Tubuh”Pengisi :
-Uti Setyastuti
-Windarti Dance
-Mila Rosinta T with Leilani H (FRAU)
-Arjuni Prasetyorini
-Ayu Permatasari
-Lalita Atikandhari
-Elisabet Nila with Anouk WilkeWaktu :
Sabtu, 11 April 2015 pukul 19.00 WIBTempat :
Joglo Kampung Kuliner Pringwulung (samping Studio MAD School)
Jln.Manggis No.79 Gaten, Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta